Hai,
perkenalkan namaku Erina. Usiaku sekarang 18 tahun. Teman-temanku sering memuji
wajahku yang bulat dan manis dengan rambutku yang hitam sebahu yang menurut
mereka amat serasi dengan bentuk wajahku. Tubuhku yang mungil dengan tinggi 152
cm, memberi kesan imut yang sering menjadi daya tarik tersendiri bagi
teman-temanku. Aku merupakan seorang mahasiswi keturunan Chinese dari Medan yang
bisa tergolong sebagai pendatang baru di Jakarta. Aku merantau ke Jakarta
sendirian untuk melanjutkan pendidikanku di sebuah universitas swasta di
Jakarta Barat.
Sehari-harinya aku bekerja sebagai guru les
privat yang mengajar anak-anak sekolah yang pada umumnya adalah anak-anak SMP
atau SD. Aku melakukan ini untuk membiayai uang kuliah dan segala keperluanku.
Maklumlah, sebagai pendatang baru di kota besar seperti Jakarta, aku harus bisa
membiayai segala keperluanku sendiri. Apalagi keluargaku yang berasal dari
daerah juga bukan tergolong keluarga yang cukup mampu untuk membiayaiku, maka
aku memutuskan untuk mandiri sendiri di perantauanku.
Suatu
hari, aku mendapat panggilan dari sebuah keluarga yang ingin agar aku mengajar
les anak tunggal mereka. Mereka menawarkan gaji yang bagiku amat tinggi dan
kurasa cukup untuk membiayai kehidupanku di Jakarta. Tanpa pikir panjang lagi,
segera kuterima tawaran keluarga itu, dan kami setuju bahwa aku akan mulai
mengajar anak mereka besok sore harinya sepulang kuliah. Esok harinya, aku pun
datang untuk mulai mengajar murid baruku itu. Sesampainya di rumah itu, aku
tertegun melihat arsitektur rumah itu yang seperti sebuah istana yang
dilengkapi taman hijau dan dikelilingi pagar terali yang tinggi. Dibandingkan
dengan rumahku di daerah yang hanya ¼ luas rumah itu, apalagi tempat kosku yang
kecil dan sumpek, tentu saja memiliki rumah seperti ini sudah menjadi impianku
sejak kecil.
DING-DONG!!
Kutekan bel pintu di sebelah pagar rumah itu.
"Siapa?"
terdengar suara wanita di Interkom yang terletak di samping bel pintu itu.
"Saya
Erina, guru les privat anak anda yang baru!" jawabku
"Oh, Erina! Ayo, silakan masuk!"
Tiba-tiba, gerbang terali rumah itu terbuka. Aku pun segera masuk kedalam.
Pintu garasi itu terbuka dan keluarlah seorang wanita paruh baya, usianya
sekitar 40-an tahun. Dari penampilannya yang necis seperti seorang
business-woman, sudah jelas bahwa ia adalah pemilik rumah ini. Wanita itu
segera menyambut kedatanganku.
"Halo,
Erina! Bagaimana kabarnya?"
"Baik-baik saja bu. Anda Bu Diana? Ibu
Rendy?" tanyaku dengan sopan.
"Ya,
betul! Ayo masuk, kita bicara didalam!" ujarnya mempersilahkanku masuk
Sambil menuju ke ruang tamu, kami berbincang-bincang sejenak. Dari situ aku
tahu bahwa bu Diana adalah pemilik Bridal Studio ternama di Jakarta sekaligus
seorang desainer gaun pengantin yang sering pergi ke luar negeri untuk melihat
pameran-pameran di luar negeri. Bahkan, di rumahnya banyak terpajang piala
penghargaan bagi desainer di pameran luar negeri. Sementara suaminya adalah
kepala cabang sebuah bank multinasional yang saat ini tinggal di Jerman. Maka
ia hanya tinggal berdua saja dengan anaknya di rumah itu. Seringkali anaknya
dititipkan ke kerabatnya apabila bu Diana hendak pergi ke luar negeri. Aku pun
dipersilahkan untuk menunggu di ruang tamu sementara bu Diana mengambilkan
minuman untukku. Aku hanya terpaku melihat hiasan-hiasan indah di rumah itu.
Rasa-rasanya, harga salah satu hiasan patung ataupun lukisan itu cukup untuk
membiayai uang kuliahku untuk satu semester.
"Hayo,
kok malah melamun?" aku dikagetkan oleh suara bu Diana yang segera
menyajikan segelas es sirop untukku.
"Eh.. tidak.. maaf, Bu!" aku
tergagap salah tingkah, namun bu Diana hanya tersenyum melihatku. Bu Diana
segera duduk di sofa ruang tamu di depanku.
"Nah, Erina. Kamu akan mengajar Rendy
mulai hari ini. Ibu harap kamu bisa memperbaiki nilai-nilainya di
sekolah."
"Baik
bu. Saya akan berusaha sebaik mungkin."
"Saya senang melihat semangatmu. Tapi apa
kamu tahan menghadapi anak-anak nakal?" "Memangnya ada apa, bu?"
tanyaku penasaran
"Rendy
sekarang duduk di kelas 3 SMP, usianya tahun ini 16 tahun. Kamu tahu, itu masa
yang rawan bagi anak remaja. Nilai Rendy terus menurun, ia lebih sering
menghabiskan waktunya buat bermain atau menonton di kamarnya." Bu Diana
tampak menghela napas.
"Tenang
saja, bu. Saya akan berusaha untuk membuatnya belajar. Saya yakin, nilai Rendy
pasti akan segera membaik."
"Bagus.
Kinerjamu akan dinilai lewat nilai-nilai ujian semester mereka Juni ini."
"Berarti,
5 bulan dari sekarang?" "Benar. Tunggu sebentar ya, Erina? Ibu akan
memanggil Rendy dulu." Rendy Aku mengangguk menyetujui.
Bu
Diana lalu beranjak pergi ke lantai atas. Tak lama kemudian, Bu Diana turun
beserta seorang anak laki-laki. Wajah anak itu tidak bisa dibilang tampan,
menurutku. Tubuhnya kurus dan termasuk tinggi untuk anak seusianya, bahkan
lebih tinggi dariku. Tapi mukanya yang tampak masam saat melihatku yang duduk
di hadapannya, dari wajahnya sudah terlihat ia seorang yang nakal dan
bermasalah.
"Ayo,
beri salam ke Kak Erina! Mulai hari ini dia yang akan menjadi guru
privatmu!" Anak itu tampak acuh dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman
denganku.
"Erina,
salam kenal!" Aku berusaha tersenyum sambil membalas uluran tangannya.
"Baiklah,
ayo antar kak Erina ke kamarmu dan mulai belajar!" perintah bu Diana, yang
hanya dijawab oleh gerutuan dari Rendy.
Aku
tersenyum dan mengikuti Rendy ke kamarnya. Sejak hari itu, aku mulai mengajari
Rendy sebagai guru privatnya. Hari demi hari berlalu. Tidak terasa, sudah 3
bulan berlalu sejak hari itu. Tiap hari Senin hingga Jumat sore, aku terus
mengajari Rendy sebagai guru privatnya secara rutin. Lama-lama aku pun semakin
mengenal Rendy. Rendy sering bergaul dengan teman-temannya, namun sayangnya
Rendy salah memilih pergaulan. Ia bergaul dengan anak-anak nakal di sekolahnya.
Aku pernah melihat teman-temannya yang nakal itu, mereka selalu saja mengajak
Rendy untuk membolos saat aku mengajar, yang seringkali dituruti olehnya, belum
lagi sikap mereka yang menurutku tidak sopan maupun cara mereka bergaul yang
lebih condong ke arah pergaulan bebas. Aku selalu bersabar mengajari Rendy,
tapi anak itu benar-benar bandel. Setiap kali aku mengajarinya, ia hanya
mengacuhkanku ataupun bengong melamun. Semua tugas yang kuminta untuk
dikerjakan tidak pernah disentuhnya sama sekali. Parahnya lagi, tidak jarang
kulihat kepingan DVD porno yang disembunyikannya dibawah kasurnya. Aku tidak
pernah menghiraukan hal itu, karena tugasku di sini adalah untuk mengajarinya
bahan pelajaran, bukan untuk menceramahinya. Mungkin karena pengaruh DVD itu
dan pergaulannya, dia juga sering menggodaku untuk menjadi pacarnya. Aku memang
masih single, tapi pacaran dengan anak dibawah umur? Tak pernah sama sekali
terlintas di benakku untuk melakukan hal itu, apalagi Rendy adalah muridku.
Sering aku nyaris kehilangan kesabaran karena ulah Rendy, namun aku selalu
teringat akan janjiku pada bu Diana untuk memperbaiki nilai Rendy dan mengingat
biaya yang dikeluarkan bu Diana untuk membayarku, sudah cukup untuk membuatku
selalu tegar menghadapi kebandelan Rendy. Namun seberapapun aku berusaha
menahan kesabaranku, rupanya kesabaran bu Diana mulai habis. Suatu hari, ia
memanggilku saat aku mengajar Rendy.
"Erina,
saya pikir kamu sudah tahu kalau nilai Rendy selama ini sama sekali tidak
membaik." Ujarnya agak keras.
"Maaf,
bu. Saya sudah berusaha, tapi Rendy.."
"Saya
tidak mau mendengar alasan, Erina. Kamu tahu berapa gajimu setiap bulan bukan?
Saya berharap pengeluaran itu setimpal dengan hasil yang kamu berikan. Tapi
kalau begini hasilnya, saya benar-benar kecewa.." ujarnya dengan nada agak
ketus.
"Tapi.."
"Begini
saja. Saya akan tetap berpegang pada janji saya untuk menilaimu lewat hasil
Rendy pada semester ini. Kalau nilainya masih juga belum membaik, saya terpaksa
mencari pembimbing yang lebih mampu."
"Tapi
bu.." aku berusaha memberi argumen dengan Bu Diana.
"Sudahlah
Erina, saya harus pergi ke studio sekarang! Saya harap, kamu bisa memperbaiki
nilai Rendy secepat mungkin!" tegas bu Diana sambil berlalu pergi keluar
dari rumahnya.
Kata-kata
bu Diana benar-benar membuatku mulai patah arang. Bagaimana cara menggerakkan
anak sebandel itu untuk belajar? Yang kutahu ia hanya tertarik dengan game
PlayStation dan koleksi film miliknya, baginya memegang buku pelajaran pasti
lebih susah daripada berenang melintasi samudra! Rasa putus asa menyelimutiku
saat aku membayangkan bagaimana membiayai kuliahku apabila bu Diana
meberhentikanku. Dengan lesu, aku kembali ke kamar Rendy untuk mengajar. Namun,
sesampainya di kamar, aku melihatnya tertawa terbahak-bahak saat aku memasuki
kamarnya.
"Apa
yang lucu?!" ketusku dengan muka masam.
"Mau
dipecat ya, Kak? Kasihaan deeeh!" ejeknya sambil tertawa.
Mendengar ejekan Rendy sudah lebih dari cukup
untuk membuat amarahku yang sudah lama terpendam, meledak seketika.
"Kamu
maunya apa sih?! Kakak sudah memberimu penjelasan dan latihan-latihan, tapi
sama sekali tak digubris!! Bagaimana nilaimu bisa bagus kalau kamu tidak pernah
belajar!! Setiap hari yang kamu tahu cuma main game atau bengong saja!!"
bentakku pada Rendy. Aku benar-benar merasa marah dan dipermainkan oleh anak
itu. Tapi Rendy hanya tersenyum mendengar bentakanku itu.
"Oke
deh, kalau Kakak maunya begitu. Rendy akan minta Mami untuk mencari guru baru.
Kakak cari saja murid yang mau menurut!!" Ujarnya dengan sombong.
Seketika
itu juga aku ambruk ke lantai, air mataku menetes karena putus asa. Aku sudah
harus membayar biaya kuliahku bulan depan yang rencananya akan kubayar dengan
gajiku bulan ini. Apabila aku diberhentikan sekarang, bagaimana caraku untuk
membayar uang itu? Tidak mungkin meminta kiriman uang dari keluargaku, aku
tidak memiliki kerabat di Jakarta dan lagipula mana mungkin teman-temanku mau
meminjamkan uang untuk mahasiswi miskin sepertiku ini? Sebenarnya banyak
mahasiswa yang tertarik padaku dan mau menjadi pacarku. Bisa saja aku meminjam
uang dari mereka, namun aku tak mau kalau harus berhutang budi pada mereka,
bisa saja itu menjadi alasan mereka untuk memaksaku menjadi pacar mereka. Pikiran
bahwa aku harus berhenti kuliah membuatku galau dan putus asa. Aku pun menangis
terisak di hadapan Rendy.
"Waah,
malah nangis.. Dasar cengeng!" ejek Rendy saat melihatku menangis, namun
itu tidak menghentikan isak tangisku.
"Oke,
oke. Aku mau belajar, tapi kakak harus menuruti permintaanku, Oke?!" Rendy
mulai membujukku.
"A..apa
yang kamu mau?!" jawabku sambil terisak. "Pertama, kakak berdiri dulu
ya?" Rendy memegang tanganku dan membantuku berdiri. Aku pun segera
beranjak bangun. Kulihat mata Rendy tampak menggerayangi lekuk tubuhku. Ia lalu
berjalan berputar-putar mengelilingiku. Aku pun mulai risau melihat gelagat
anak itu.
"Sudah!
Jangan putar-putar melulu! Kepala kakak pusing tahu!! Kamu maunya apa
sih?!" bentakku tidak sabaran.
"Kak,
Rendy penasaran deh.." ungkap Rendy.
"Apanya?!"
"Kakak
itu cewek kan?"
"Lalu
kenapa? Bukannya sudah jelas kan?!" jawabku kesal.
"Kalau begitu, kakak punya memek juga
doong.." balas Rendy dengan nada mengejek.
"Rendy
penasaran nih.. Memek kakak mirip nggak ya, dengan memek cewek-cewek yang
sering kulihat di film-film porno?" sambungnya dengan santai.
Oh,
astaga! Bagai tersambar petir, aku benar-benar marah mendengar ucapan Rendy
itu. Moral anak ini benar-benar sudah hancur sama sekali!! Bagaimana bisa dia
menanyakan hal seperti itu didepan seorang gadis dengan santainya? Anak ini
benar-benar sudah kelewat batas! PLAAK.. Tanpa sadar kutampar pipi kiri Rendy
hingga anak itu terjatuh ke lantai. Rendy pun merintih kesakitan.
"Aduh,
sakiit.." rintihnya pelan. Ya ampun! Apa yang telah kulakukan? Sesaat aku
sontak tersadar, namun sudah terlambat. Tamparanku sudah keburu mendarat di
pipi Rendy. Melihat Rendy yang terjatuh, aku pun merasa semakin panik. Segera
kuhampiri Rendy yang masih merintih di lantai.
"Rendy,
Rendy! Kamu nggak apa-apa kan?! Maaf ya, kakak tak sengaja. Maaf.."
tanyaku cemas. Aku berusaha menggenggam tangan Rendy, namun ia segera menepis
tanganku.
"Pergi
sana! Rendy akan laporkan kakak ke Mami!! Biar nanti kakak dituntut ke
polisi!!" teriaknya.
"Rendy.. Kakak minta maaf ya? Kakak
benar-benar tak sengaja.." aku benar-benar panik mendengar ancaman Rendy,
yang sangat mungkin menjadi kenyataan mengingat keluarganya yang cukup
terpandang.
"Nggak mau! Pergi sana!! Tunggu saja
sampai Mami pulang, Kakak pasti kulaporkan!" ancam Rendy sekali lagi.
Rendy
segera beranjak, hendak keluar dari kamarnya. Aku benar-benar putus asa dan
kebingungan. Masalah yang datang menghampiriku silih berganti. Bagaimana ini?
Sebelumnya, ancaman pemecatanku sudah diambang mata dan sekarang malah aku
terancam dituntut oleh keluarga kaya ini. Pikiranku pun mulai buntu dan tanpa
pikir panjang lagi, kutarik tangan Rendy untuk mencegahnya keluar kamar.
"Tunggu
Rendy!! Kakak akan menuruti permintaan Rendy! Apapun! Tapi tolong jangan
laporkan kakak ke bu Diana!" bujukku pada Rendy.
Langkah
kaki Rendy terhenti sebentar. Rendy lalu melirik melihatku.
"Benar
nih? Kakak nggak bohong kan?" tanyanya tidak percaya. "Iya, iya!
Kakak janji! Tapi cuma sekali ini saja ya!" jawabku putus asa.
"Oke
deh kalau begitu. Rendy mau lihat memek kakak sekarang." Perintahnya
padaku.
"Tapi
cuma lihat saja ya! Jangan macam-macam!"
"Iya,
deeh.." jawab Rendy puas. Aku lalu berdiri di depan Rendy, perlahan-lahan
kunaikkan rok putihku yang selutut di hadapan anak itu. hingga akhirnya rokku
mencapai pinggul, menampakkan pahaku dan celana dalam pink berendaku dengan
jelas. Rendy tampak takjub saat melihat celana dalamku yang masih menutupi
selangkanganku.
"Tunggu
Kak! Jangan bergerak dulu!" perintah Rendy mendadak. Aku pun tak punya
pilihan lain selain memamerkan celana dalamku di hadapan Rendy. Perasaanku
campur aduk saat melihat mata Rendy yang tampak berbinar-binar takjub melihat
celana dalamku. Aku pun bisa mendengarnya menelan ludah. Pasti ini pengalaman
pertamanya melihat celana dalam seorang gadis yang asli. Kurasa selama ini dia
hanya melihat celana dalam wanita lewat film pornonya saja. Ia tampak gugup
sekaligus senang melihat celana dalamku. Sementara jantungku berdegup kencang
sekali saat mengingat seorang anak ABG sedang mengamati celana dalamku dengan
seksama. Wajahku sekarang pasti sudah lebih merah dari buah tomat yang matang
karena malu. Rendy menoleh sejenak ke belakang sambil menghela nafas. Kurasa ia
juga amat gugup karena dari tadi mengamati celana dalamku tepat di depan
wajahnya. Tapi, ia segera kembali menoleh melihat celana dalamku dan kali ini
kulihat sorot matanya yang secara khusus mengamati bayangan vaginaku dibalik
celana dalamku. Sorot matanya yang mengamati dengan seksama memberiku sensasi
yang aneh. Belum pernah kulihat sorot matanya seserius itu. Semakin lama,
kepalanya semakin maju hingga memasuki rokku dan tampaknya ia benar-benar
menikmati saat mengamati celana dalamku. Aku dapat merasakan dengan sangat
jelas detak jantungku yang berdegup semakin kencang. Aku merasa bingung mengapa
jantungku bisa berdetak sekencang itu hanya karena Rendy sedang mengamati
celana dalamku? Aduuh.. andai saja aku tidak menamparnya tadi, sesalku dalam
hati.
"Rendy, sudah ya.. Kakak sudah capek
nih.." bujukku pada Rendy.
"Belum
kak. Kakak masih belum menepati janji kakak!" protesnya padaku.
"Apa
lagi, sih, Rendy?!" "Aku mau melihat memek kakak! Bukannya tadi kakak
berjanji untuk menuruti keinginanku? Ayo, buka celana dalamnya dong kak!"
pintanya padaku.
"Tapi..
tapi.." aku berusaha mencari alasan untuk menolak permintaan Rendy, namun
pikiranku buntu sama sekali. Memang benar tadi Rendy sempat berkata bahwa ia
ingin melihat kewanitaanku. Tapi bagaimanapun, aku merasa amat keberatan kalau
seorang anak kecil melihat vaginaku yang selalu kujaga baik-baik untuk suamiku
di masa depan.
"Ayo,
kak! Kalau tidak aku akan melaporkan kakak ke Mami lho!!" ancamnya sekali
lagi.
Aku
sadar, aku tidak mungkin meloloskan diri dari permintaan Rendy. "Iya deh!
Tapi cuma sebentar saja ya!" gerutuku.
Saat
mendengar kata ‘melapor ke Mami’, aku sudah kalah telak tanpa bisa membantah
atau menolak permintaan anak ini.
"Oke deh!!" serunya dengan riang
setelah mendapat izin dariku. Tanpa menunggu lama, ia segera melorotkan kedua
sisi celana dalamku dan menurunkan celana dalamku hingga celana dalamku
tergulung di pahaku. Sekarang, tanpa pelindung apapun, kewanitaanku terpampang
jelas dihadapan Rendy yang kini mengalihkan perhatiannya ke vaginaku. Pikiran
dalam hatiku berkecamuk. Apa yang sebenarnya kulakukan? Bukankah bu Diana
membayarku untuk mengajar les privat anaknya? Namun kenyataannya sekarang,
celana dalamku sudah ditarik turun oleh muridku sendiri yang kini sedang sibuk
mengamati kewanitaanku. Kalau bu Diana mengetahui hal ini, aku tidak tahu apa
yang akan dilakukannya padaku. Paling tidak aku agak beruntung karena bu Diana
tidak berada di rumah saat ini, jadi aku tidak perlu khawatir akan kepergok
olehnya.
"Waah, beda sekali dengan memek
cewek-cewek di film porno. Memek kakak bersih ya! Nggak ada
rambut-rambutnya!" puji Rendy padaku. Tentu saja! Aku paling menjaga dan
merawat daerah kewanitaanku sebaik mungkin. Aku selalu teratur membersihkan
vaginaku dan mencukur rambut kemaluanku. Mana mungkin vaginaku disamakan dengan
vagina para perempuan di video porno yang pasti tidak dirawat dengan teratur!
Pikirku kesal.
"Hei,
Rendy. Sudah cukup ya?" pintaku pada Rendy.
"Sebentar
lagi, ya. Kak!" Ampuun! Aku benar-benar terjebak! Memamerkan kewanitaanku
di depan anak SMP sudah lebih dari cukup untuk membuatku malu seumur hidup! Aku
tak berani membayangkan kalau ada orang yang melihat hal ini. Badanku terasa
panas dan keringatku mulai mengucur deras hanya karena kewanitaanku diamati oleh
Rendy. Apalagi mengingat kalau aku seharusnya mengajarinya dalam pelajaran,
bukan malah memberinya tontonan yang tidak pantas seperti ini.
"Waah..
kok memek kakak makin lama makin basah sih?!" tanya Rendy tiba-tiba.
"Ah..
Eh?!" mendadak aku tersadar dari lamunanku, saat itulah aku baru menyadari
kalau jari telunjuk Rendy sudah menyentuh bibir vaginaku. Ujung jari Rendy
sudah mulai masuk sedikit ke dalam liang vaginaku dan mulai menggosok-gosok
bibir vaginaku yang sudah basah karena luapan cairan cintaku tanpa sadar.
"AAH!!!
Hei!! Hentikan, Rendy!!!" aku benar-benar panik melihat jari Rendy di
vaginaku itu. Aku takut kalau keperawananku malah terenggut oleh jari-jari
Rendy. Namun Rendy tidak berhenti.
"Rendy!
Sudah cukup, hei!! Bukannya kamu berjanji hanya melihat saja?!" protesku
pada Rendy.
"Aargh! Berisik! Diam saja! Kalau tidak,
kutusukkan jariku kedalam memek kakak dalam-dalam, mengerti?!" bentak
Rendy padaku.