Namaku Willy, umurku 26 tahun. Aku bekerja sebagai seorang karyawan pada bagian staff
administrasi di salah satu perusahaan swasta di Bandung. Aku sudah menikah dan mempunyai seorang anak. Cerita ini merupakan sisi gelap kehidupan masa lalu seksku yang kuumbar pada keluarga istriku, ibunya yang tak lain adalah mertuaku serta kakak dan adiknya. Sebenarnya sebelum menikaHPun pengalaman seksku sudah cukup lumayan, namun biar begitu aku tidak berani main ke lokalisasi walau secantik apapun ceweknya, karena takut aku tertular penyakit menular seksual. Biasanya yang menjadi sasaranku adalah wanita yang bukan pekerja seksual seperti pembantu rumah tangga atau baby sitter sampai pelayan warteg, tentu saja yang memenuhi syarat seperti berbody montok, wajah lumayan cantik, dsb. Namun kali ini hal yang kualami cukup unik dan itulah sebabnya aku ingin menceritakannya dalam komunitas website ini. Keluarga istriku terdiri dari ibunya yang tak lain adalah mertuaku. Namanya Heny, umurnya baru 38 tahun, kelahiran tahun 1964. Mertuaku yang peracik jamu ini adalah istri ketiga dari camat di kampungya dari pernikahannya yang menghasilkan tiga anak. Anak pertama Cheny, 24 tahun, bekerja pada salah satu toko swalayan di Bandung, kedua Venny yang menjadi istriku, 22 tahun, seorang karyawati di perusahaan swasta dan ketiga Nony masih 20 tahun, baru lulus SMU dan masih menganggur.
Ketiga wanita inilah yang pernah
menjadi santapan seksualku. Mertuaku yang biasa kupanggil Mama ini pindah ke
Bandung setelah suaminya meninggal dan tinggal di rumah anak dari istri pertama
suaminya. Sebenarnya suaminya memiliki cukup banyak harta tetapi karena
mertuaku kawin di bawah tangan, jadi dia tidak mendapatkan harta warisan
apa-apa selain perhiasan-perhiasan dari suaminya itu. Karena ada perselisihan,
mertuaku dan ketiga anaknya pindah dari rumah itu dan memulai usaha menjadi
penjual jamu gendong untuk menafkahi ketiga anaknya. Namun karena sekarang ini
dia merasa sudah tidak mempunyai tanggungan apa-apa lagi dan juga telah
mempunyai rumah di pinggiran kota Bandung, dia sudah berhenti dari kegiatannya
itu. Aku dan istri setiap akhir bulan selalu menyempatkan diri ke rumah
mertuaku sekaligus membawa uang ala kadarnya sekedar untuk menambah biaya hidup
sehari-hari. Namun pada hari itu, Sabtu, entah kenapa istriku tidak enak badan
dan menyuruhku pergi sendiri saja. Kubawa motorku ke arah selatan kota Bandung
hingga satu jam kemudian aku sampai di rumah yang sederhana tapi kokoh itu.
Rumah itu sepi namun pintunya terbuka lebar-lebar. Seperti biasanya kurebahkan
tubuhku di bangku bale-bale bambu yang ada di ruang tamu untuk melepas lelah.
Tak lama kemudian mertuaku datang. “Eh, Dik Willy, sudah lama Dik?” Dia
menyapaku memang kesannya basa-basi tetapi sebenarnya tidak. “Enggak, barusan
kok”, jawabku menyambut sapaannya. “Mana Ida?”, tanyanya. “Lagi sakit, Ma.
Katanya demam tuh, kusuruh istirahat saja” jawabku. “Oh, wah, wah, wah,
jangan-jangan tanda-tanda mau punya anak tuh”, ujar mertuaku senang.
Memang dia ini sangat mendambakan
cucu dari pernikahan kami. “Mudah-mudahan, Ma” “Ya sudah, sudah makan belum.
Mama punya sayur asem sama ikan asin pake sambel terasi, kamu mau nggak?”,
mertuaku menawariku makan. “Iya, aku mau banget tuh” Bergegas aku ke ruang
makan dan melihat hidangan yang ditawarkannya itu masih belum disentuh siapapun.
Sambil makan kami mengobrol lagi. “Nony ke mana Ma?” tanyaku. “Katanya piknik
sama temen-temennya ke luar kota, kemarin sore berangkatnya” “Oh”, jawabnya.
Memang mertuaku hanya tinggal berdua dengan Nony karena Cheny lebih memilih
kost di dekat tempatnya bekerja. Kami mengobrol tentang macam-macam sampai
obrolan yang nyerempet-nyerempet. “Kamu ini sudah hampir dua tahun kok belum
punya anak juga?” “Ya enggak tahu tuh, Ma” “Apa kamunya yang nggak bisa? Kalo
nggak bisa sini Mama ajarin” “Ajarin apa, Ma?” “Mama buatin jamu biar subur”
“Ah bisa aja Mama nih” Obrolan sengaja kupancing dan kuarahkan ke masalah
seksual. “Ma saya boleh nanya nggak?” “Apa?” “Dulu Pa’e sering dibuatin jamu
nggak?”
“Ya kalo lagi sakit aja” “Untuk
yang lain?” “Yang lain tuh apa?” “Jamu kuat lelaki misalnya?” “Ha, ha, ha, kamu
ini ada-ada saja. Nggak usah pake begituan juga mertua lakimu itu sudah kuat,
kok. Malah sebelum mati dia nambah lagi satu” “Jadi nggak pernah sama sekali,
Ma?” “Pernah sich sekali-kali. Itu juga dia yang minta” “Terus Mamanya gimana?”
“Ya tokcer lah, ha, ha, ha, eh, kamu kok tanya itu sih?” “Terus sekarang ini
Mama kalo lagi pengen gimana?” Wajahnya sedikit memerah tetapi dijawabnya juga,
“Ya, banyak-banyakin aja kerjaan, ya masak, nyuci piring, nyapu pekarangan,
entar juga lupa, terus sudahnya, capek, ya tidur” “Oh”, jawabku. “Kamu ini
nanyanya ngawur, aja” “He, he, he..” “Sudah sore sana mandi” “Iya Ma” Sementara
aku mandi, kurasakan penisku yang sudah berdiri tegak. Kukocok penisku sambil
membayangkan tubuh mertuaku. Mertuaku ini masih lumayan kencang walau sudah
memiliki anak tiga. Menurut istriku, dia rajin luluran kulit sawo matang
disertai dengan minum jamu rutin. Perutnya masih cukup ramping walaupun sudah
ada sedikit lipatan-lipatan lemak. Buah dadanya yang berukuran 36B itu tetap
kencang karena ramuan dari luar disertai jamu-jamuan demikian juga dengan
bongkahan pantatnya. Satu hal lagi, dia ini tidak pernah memakai daster, atau
baju apapun.
Pakaian sehari-harinya adalah
kain kebaya dengan kemben yang dililit hingga dadanya. “Dik Yanto, nanti kalau
sudah airnya diisi lagi ya?” “Iya, Ma”. Setelah mandi kupompa air di luar kamar
mandi sementara itu mertuaku berjongkok mencuci piring di bawah pancuran pompa
tangan. Ember yang telah terisi kubawa ke kamar mandi untuk diisikan ke bak,
begitu seterusnya hingga penuh. Sambil memompa kuperhatikan belahan buah dada
mertuaku hingga membuat penisku berdiri lagi hingga tak sadar handukku
terlepas. “Wah, semalem belum dikasih ‘makan’ ya?”, begitu sindir mertuaku. “Iya
nih, Ma” “Kenapa sih kamu kok cuma liat nenek-nenek aja langsung berdiri?”
“Abis Mama montok sih”, jawabku asal saja. “Hus, apanya yang montok” “Itu
belahan teteknya, makanya saya jadi begini” “Oh ini, mau lihat?” “Iya, mau, mau
Ma” Sejenak dia berbalik terus membuka kembennya hingga perutnya yang cukup
ramping itu terbuka. “Nih, liat aja”, katanya sambil kupegang buah dadanya. “Eh
katanya cuma liat?” “Ya liat sama pegang, Ma” Kuremas-remas buah dadanya hingga
nafasnya tersengal. “Sudah To, sudah” Tapi aku terus saja meremasnya dengan
bersemangat. “Sudah To, Mama mau mandi dulu” “Bener mau mandi apa mau yang
lain?” “Bener Mama mau mandi” “Nanti lagi ya?” Mertuaku tidak menjawab, hanya
berlalu ke kamar mandi. Aku tunggu di kamar tidurnya hingga beberapa menit
kemudian mertuaku sudah masuk ke kamarnya lagi. Tubuhnya hanya berbalut kain
saja. Yang membuatku kaget adalah mertuaku membuka begitu saja kainnya di
hadapanku yang masih berbaring. Kulihat buah dada yang cukup sekal tadi
disertai dengan perut yang ramping dan pantat yang montok. Yang membuatku tak
tahan adalah belahan vaginanya yang berbulu sangat lebat berbentuk segitiga.
Pelan-pelan kudekati dia dengan pelukan yang cukup hangat dan ciuman yang kuat
di bibirnya, mertuaku hanya pasrah saja. Kuteruskan tindakan yang tadi
kulakukan di luar. Kali ini aku berjongkok lalu kumainkan vaginanya dengan
mulutku sementara tanganku naik turun bergantian. Kuremas-remas bongkahan
pantatnya yang padat itu dengan tangan kanan dan tangan kiriku
memelintir-melintir puting susunya dengan sesekali menjumput dan meremas buah
dadanya itu. Begitu terus bergantian dengan tangan kanan dan kiri. Pada saat
yang bersamaan kuhisap-hisap dengan gemas bibir vaginanya. “Aghh, aghh, aghh”,
suara itu keluar dari mulut mertuaku di iringi dengan suara dari mulutku yang
terus menghisap vaginanya yang banjir itu. Begitu seterusnya hingga,
“Udahh, aghh, masukin aja punya
kamu, To”. Aku rebahkan mertuaku ranjang dengan pantat dan pinggulnya berada di
pinggir ranjang, kedua kakinya kuangkat ke bahuku. Aku berlutut di lantai
dengan penisku berada tepat di pintu liang vagina itu. Kumain-mainkan dulu
kepala penisku di kelentitnya dengan berputar-putar lalu baru kuturunkan ke
vaginanya. Perlahan tapi pasti kumasukkan penisku ke liang vaginanya. “Eghh..,
sstt, pelan-pelan, To” “Mama kayak perawan aja” Setiap dorongan sepertinya ada
yang mengganjal penisku di dalam vaginanya. “Eghh, aduh sakit, To” “Hah,
sakit?” Sambil mendorong kugoyang-goyangkan juga pinggulku ke kiri dan ke kanan
supaya lorong vaginanya agak melebar. Setiap dorongan juga kutarik sedikit
penisku keluar lalu kudorong lagi supaya bagian yang sulit ditembus itu agak
terbuka. Lalu, sleb, sleb, sleb, dengan tiga kali dorongan penisku sudah masuk
semua ke dalam rongga vagina mertuaku. Aku berdiam sesaat hingga kurasakan
denyutan kecil seperti hisapan-hisapan lembut.
Ternyata mertuaku mempunyai
vagina yang bisa menghisap-hisap penis. Mungkin karena jamu-jamuan yang rutin
diminumnya sehingga dia bisa seperti ini. “Ayo To, nunggu apa lagi?” Kutarik
dengan diiringi helaan nafasku, lalu ku dorong lagi hingga bless, bless, bless,
penisku tertancap hingga pangkalnya. Keluar juga suara kecipak dari vagina
mertuaku. Dari mulut kami juga keluar suara-suara desahan dan lenguhan nafas
kami mewarnai suasana yang erotis. “Aghh, aghh, aghh, shh, ohh, aghh”, begitu
suara deru nafas mertuaku. Aku tetap berkonsentrasi supaya penisku tidak
menembak lebih dahulu dan orgasme namun karena nikmatnya vagina mertuaku ini
membuatku tak tahan. Namun dengan mengatur nafas aku bisa mengimbangi
permainannya. Sudah hampir satu jam kami saling asyik masyuk sampai tanda-tanda
akan orgasme terasa pada kami. Kulihat gerakan mengejang dari perut mertuaku
dan juga wajahnya yang semakin terlihat gelisah disertai keringat dan matanya
yang turun seperti fly, kepalanya yang bergeser ke kiri dan ke kanan, tangannya
juga berusaha menggapai apa yang bisa diremas. Itu biasanya gejala wanita yang
akan orgasme. Tak lama kemudian, “Aghh, cepetan To, aku mau nyampe nih” “Aku
juga, aghh” “Iiihh, aghh, ehmm, aghh” Begitu jeritan kecil dari mulut mertuaku
disertai deru nafasnya menandakan bahwa dia telah orgasme. “Ughh, ughh, ughh”,
begitu sisa nafasnya menikmati sensasi orgasme yang tiada tara. Aku juga
merasakan hal yang sama dengan mengejangnya seluruh tubuhku dan menyemprotnya
spermaku, entah berapa kali kusemprotkan cairan penuh kenikmatan ini ke dalam
rahim mertuaku. Tubuh kami langsung lunglai. Aku langsung berbaring telungkup
diatas mertuaku dengan kondisi penis yang masih menancap di vaginanya. Tak lama
kemudian peniskupun layu dan terlepas dengan sendirinya dari liang vagina yang
nikmat itu. “Kamu hebat juga, To” “Iya dong, Ma” “Jangan panggil Mama lagi”
“Siapa dong?” “Heny aja” “Iya Hen, ughh gimana enak nggak?” “Enak tenan, lho”
Mata mertuaku langsung sayu dan terpejam lalu tertidur. Aku turun dari tubuhnya
dan juga merasa mengantuk sekali hingga aku juga tertidur. Tak terasa kami
tertidur hingga aku terbangun dan mertuaku masih di sisiku sambil memeluk
tubuhku. Tubuh kami masih telanjang bulat ketika itu. Tiba-tiba, “Ehmm, he, he,
gimana kamu puas nggak?” “Iya Hen, aku puas banget. Aku sudah pengen begini
sama kamu sejak lama tapi nggak tahu harus gimana dan takut kamunya marah”
“Hhh”, mertuaku menghela nafas lega. “Yah, kan sekarang sudah”, kataku. “Tapi
To, aku masih serr-serran lho”, begitu katanya sambil menggenggam penisku yang
sedari tadi agak lunglai terasa seperti ingin bangun lagi. Sepertinya mertuaku
ini tahu bagaimana cara membangunkan kembali penis melalui tekanan-tekanan pada
urat-urat di tempat lain. Aku langsung menciumi buah dadanya dan tanganku
mengobok-obok vaginanya. Mertuaku mulai terangsang kembali dan dengan cepat aku
berada di posisi siap di atas tubuhnya. Dengan sekali dorongan, penisku sudah
menancap di dalam vagina yang sudah becek itu. Mertuaku berkata, “To, aku yang
di atas yah?” “Emangnya bisa?” “Bisa dong, kan udah nontonn filmnya Cheny”,
rupanya mertuaku sering menonton VCD blue film dengan anaknya, Cheny. Jadi
tidak heran kalau dia faham posisi-posisi dalam bercinta. Dengan berguling kini
posisi tubuhnya berbalik berada di atasku.
Mertuaku mencoba duduk dengan
melipat kakinya lalu dia mulai bergoyang maju-mundur dan memutar ditingkahi
dengan suara dari vaginanya hingga menambah gairahnya untuk memacu goyangannya.
Aku dari bawah hanya memegangi buah pantatnya dan tanganku yang satu memainkan
kelentitnya yang berada tepat berada di perutku. Hanya sekitar setengah jam
mertuaku mulai menampakkan gejala ingin orgasme. Dalam hitungan detik dia sudah
orgasme. Tubuhnya kembali lunglai dan berbaring di atas dadaku. Namun aku
belum, hingga secepat kilat aku berbalik dan berada di atasnya dan langsung
bergoyang untuk mengejar orgasmeku. “Aduhh udahh To, aughh, gelii, To..”,
hingga beberapa detik kemudian aku merasakan orgasmeku yang kedua begitu nikmat
dengan tembakan spermaku yang masih cukup kuat. Kami kemudian mengobrol hal-hal
yang berbau pornografi dan erotis hingga terangsang kembali dan kami
bersenggama lagi, begitu seterusnya hingga subuh. Entah sudah berapa kali kami
melakukan hal yang sebenarnya merupakan aib bagi keluarga kami sendiri.
Sekarang ini mertuaku sudah mempunyai cucu dan lebih menjaga jarak denganku.
Dia merasa hal yang sudah kami lakukan itu adalah aib dan tidak sepantasnya
dilakukan, dan jika kusinggung soal hal itu dia nampaknya agak marah dan tidak
suka. Dia telah menjadi nenek yang baik bagi anakku.